Nothingness

“Merbabu adalah tempat bagi mereka yang selalu dirundung cemas”

polo pa kita, sayang
ciong pa kita, sayang
ini yang terakhir torang dua bakudapa, bukan utk mo bapisah
– Lagu Manado

Aku teringat dimana disaat aku terbaring di sampingmu menembus malam. Tak ada yang berbeda dari malam-malam lainnya. Aku  terbaring dengan penuh hasrat dan sebuah tujuan. Aku terbaring untuk berpisah kembali dengan dirimu, kekasih ku.

Sementara kamu terbaring menuju masa depanmu. Bukan masa depan kita, tentu saja.

Karena apakah arti masa depan bagi kita berdua? Ketidakpastian bukanlah sesuatu yang asing bagiku, tetapi aku tidak pernah dengan sengaja memilih ketidakpastian dengan sepenuh hasrat. Aku tidak berniat dengan secara sengaja mencari masalah. Aku hanya menikmati keberadaanmu saat di sisiku. Aku tidak berpikir soal masa depan denganmu. Aku tidak cemas, tidak sedih, tidak juga mengharap apapun. Karena, aku tahu aku kita tidak pernah memiliki kepastian terkait dengan relasi kita. Perpisahan ini mungkin akan membawa kesedihan dan kesuraman kepada diriku. Dan, aku tidak sedang berpikir soal dirimu yang memang sedang tak dilanda masalah serta kegalauan apapun dalam bulan-bulan terakhir ini, aku  justru berpikir soal diriku…aku yakin kamu bahagia dengan apa yang kamu pilih.

Akankah hidupmu berakhir dalam sebuah rumah, atau kamar sewaan, dengan seorang pria yang kamu pilih untuk kita berpisah di sampingmu dan seorang anak dalam gendonganmu, adalah sebuah kepastian dari perjalanan dirimu selama ini? Apakah itu akhirnya? Akhir dari perjalananmu selama ini di mana engkau selalu bebas menentukan akan kemana kakimu melangkah setiap harinya, tanpa tanggungjawab dan keharusan?

Kamu meragukan dirimu sendiri.

Merasakan sekilas ketakutan akan adanya ide seperti demikian, dalam moralitas yang tentu mau tidak mau akan merengkuhmu.

Aku teringat pada keluargaku yang bagiku menakutkan. Aku teringat pada konflik-konflik keluarga, di mana mereka tak dapat lari darinya. Aku teringat mereka yang di mataku mengorbankan diri, merelakan segala hal yang sebelumnya menjadi sebuah ideal, menguap begitu mereka memutuskan untuk hidup bersama dengan orang yang bukan ia cintai. Yang, selalu memandang orang yang sama setiap hari sebelum menutup mata di malam hari dan juga setelah membuka mata di pagi hari.

Dan dalam momen yang singkat, aku menyadari satu hal…

Kamu adalah orang yang bebas.

Kamu tidak terikat pada apapun. Tidak juga pada siapapun. Kamu bebas. Sebebas burung yang terbang di angkasa di atas hutan rimba. Sebebas dirimu mengambil keputusan apapun, termasuk mencari masalah saat kamu merasa bosan lantas berdalih kamu sedang mengalami PMS atau stress dengan perilaku yang aku lakukan. Aku tak dapat menguasai diri dari desakan karena ingin tertawa atau mungkin menangis, bahkan walaupun aku tahu aku akan dianggap aneh karena tertawa atau menangis sendiri seakan tanpa sebab.

Apakah kamu akan merasa seperti itu lagi?

Mengapa kamu tidak melanjutkan saja kehidupan seperti itu? Melanjutkan hidup dalam kebebasan dan ketiadaan tanggungjawab? Tanyaku.

Kamu merengut.

Jangan bimbang, jangan takut konsekuensi. Kataku padamu. Mungkin akan terasa mengerikan saat dirimu terbiasa hidup bebas lantas dibebani tanggungjawab, tetapi itulah konsekuensi yang harus diambil. Dan kemampuan memilih jalan dan menerima konsekuensinya, adalah sebuah tantangan terberat dari kebebasan yang justru kamu miliki. Kamu tahu benar akan hal tersebut. Kamu juga tahu dari kisah-kisah mengenai beberapa orang yang selalu menyatakan diri bebas tetapi sekaligus menolak konsekuensi yang hadir. Mereka yang justru di mataku, tak memiliki keberanian untuk merengkuh dan menggunakan kebebasannya. Termasuk aku sendiri.

Jangan bimbang dan jangan takut dengan konsekuensi. Kukatakan lagi padamu. Selalu ada jalan di antara ketidakpastian dan kepastian. Antara perjuangan dan tujuan dengan penerimaan.

Jalan apa? Tanyamu.

Jalan yang telah kulihat selama ini. Di mana dirimu berjuang untuk terus berjalan, hanya untuk kemudian terpuruk dan terjatuh, dari waktu ke waktu, dan bangkit serta berjalan lagi, dalam hari-hari yang pernah kita lalui bersama. Apa yang kamu cemaskan? Area kelabu dari moralitas keluarga dan percintaan?

Hidup bersama dari sebuah keluarga yang kamu inginkan pasti jelas akan memberimu sebuah konsekuensi yang berbeda dari jalanmu selama ini. Yakinlah akan hal tersebut.

Dan? Tanyamu lagi.

Dan selalu ada jalan lain.

Apakah kau menyarankanku untuk mengubah dirinya? Membuatnya menuruti kehendakku?

Kamu tak dapat mengubah siapapun. Tiap orang adalah dirinya sendiri. Lihatlah dirimu sendiri. Kamu seorang perempuan mata sayu yang hebat di dunia yang memang butuh orang-orang hebat. Dan kamu berhasil menjalani jalanmu sejauh ini dan tetap bertahan, jauh lebih baik dari banyak orang lainnya. Dan lihat dirimu saat ini.

Tak seorangpun mampu mengubahmu. Para lelaki yang berusaha mengubahmu, berakhir dengan kamu tinggalkan. Kamu patahkan hati mereka, seperti diriku. Jadi jangan pernah berpikir untuk mengubah seseorang, sebagaimana kamu tak ingin seorangpun mengubahmu. Tetapi ada satu hal yang dapat kau lakukan.

Kamu dapat menemukan jalan menuju kedalaman hatinya. Dan kamu akan memahami dirinya, menerimanya. Dan dengannya, mungkin ia akan dapat juga memahami dan menerima dirimu sebagaimana dirimu adanya. Carilah dirinya dalam hatimu.

Rasakan dirinya dalam dirimu. Carilah koneksinya. Apabila engkau berhasil mendapatkannya, hal tersebut akan menghapus seluruh konflik dalam jiwamu. Tak akan ada lagi keraguan. Tak akan ada lagi.

Hanya akan tersisa dorongan…

Untuk menemukannya.

Untuk merengkuhnya.

Untuk berada bersamanya.

Untuk melahirkan anak-anaknya. Anak-anakmu.

Kamu meragukanku? Tanyamu.

Tak pernah. Tak akan pernah. Tetapi jangan berharap apapun dari hubungan kita berdua. Kita hanya saling mencari saat kita berdua merasa harus saling bertemu. Kita akan bertemu saat kita berdua merasa harus saling bercumbu. Interupsi sejenak dari kemonotonan hidup harian kita, yang terbebani tanggungjawab, yang telah kita ambil sebagai sebuah konsekuensi dari kebebasan kita. Dan kita berdua, tak akan merengek dan mengiba karenanya. Apabila pilihan kita ini adalah sebuah jalan yang menyedihkan di mata sebagian orang, kenapa kita risau? Toh setidaknya kita telah memilih dengan sadar, dengan sepenuh hati. Hasil dari ini adalah sebuah konsekuensi, kamu adalah seorang yang bebas. Sedangkan aku tidak, aku sangat terikat dengan dirimu–psikologisku sangat terpengaruh dengan keberadaanmu. Aku tak dapat menceritakan lebih terkait psikologisku, karna ini adalah sebuah konsekuensi dari apa yang kita sebut sebagai kebebasan.

Tapi, apakah kamu tahu? Seperti yang aku katakan di atas terkait dengan sebuah koneksi, aku telah menemukan koneksi itu di dalam diri dan jiwamu. Aku tak memiliki keraguan apapun, atas pilihan yang kamu ambil, walaupun itu semua membuat kita harus berpisah. Aneh, ini semua menghadirkan sebuah dorongan dalam diriku–dorongan hasrat untuk aku kembali mengejarmu yang lebih besar, dan aku tahu ada sebuah konsekuensi yang lebih besar lagi didepan sana dan mungkin bisa menghancurkan hidupku ketika aku mengikuti dorongan hasrat yang hadir dengan kapasitas yang lebih besar dan kuat. Aku akan mengikuti dorongan hasrat tersebut, aku akan menunggumu, bahkan akan mencarimu suatu saat nanti. Dengan segala konsekuensi yang akan aku tanggung, seberapa besar konsekuensi tersebut akan aku lalui.

Titiknya adalah aku ingin bersamamu, aku tidak pernah benar-benar bebas, aku terikat dengan dirimu–psikologis.

MCL, ini mungkin tulisan terakhir ku untuk saat ini dan mungkin beberapa tahun kedepan hingga disaat kamu kembali kepadaku lagi. Aku harap Tugu Yogyakarta masih sakral bagi kita berdua.

I love u and i miss u.